"TAK ADA YANG ABADI"
Tet...tet…
bel masuk sekolah pun berbunyi semua siswa termasuk aku bergegas menuju ke
kelas. Seperti biasa dia sudah berada di depan kelas seolah – olah seperti
orang yang sedang menerima tamu. Dia adalah Rian, teman sekalasku yang jail!
Bahkan tidak hanya jail, pokoknya sangat menyebalkan, karena dia sering
mengancam teman – teman yang lebih lemah / lebih kecil darinya. Menurutku dia
mempunyai pribadi yang jelek. Entah kenapa dia mempunyai banyak teman laki-laki
yang sama-sama jailnya. Namun terkadang Rian merupakan sosok siswa yang konyol
di kelas, sampai-sampai aku sering dibuat geli olehnya dan sahabatnya Dana.
Sesekali dia sering menjailiku, otomatis aku pun kesal dan ingin melawan,
tetapi dia menanggapi dengan santai dan tak peduli, akhirnya aku mundur karena
takut juga karena aku perempuan dan dia laki-laki duh..! Ampun! Hari itu aku
dengan santainya lewat di depannnya. Dalam hati aku sambil berhitung, setelah
hitungan ke 10 Rian langsung berbalik lalu ia langsung menuju ke tempat
duduknya. Aku heran campur terkejut, tidak biasanya dia seperti ini , biasanya
dia selalu menjailiku dan berhasil membuatku kesal.
Tiba
– tiba terdengar langkah kaki yang makin lama makin dekat. Ternyata Pak kus
sudah datang dan siap untuk mengajar kami. Semua temanku langsung duduk dan
bersiap menerima pelajaran. Saat pelajaran berlangsung aku iseng-iseng menengok
ke belakang yaitu ke arah Rian. Tak ku lihat canda tawa darinya. Apa yang
terjadi padanya? Apa mungkin dia ada masalah? Dalam hatiku bertanya-tanya.
Dua
jam pelajaran sudah mulai membosankan, karena waktu itu akan istirahat dan
pelajaran jam pertama akan berakhir. Tak lama kemudian bel istirahat berbunyi.
Semua siswa berhamburan keluar. Ada yang bermain , membeli makanan ringan, dan
ada juga yang sekedar mengobrol dengan teman-temannya. Entah mengapa Rian tak
tampak dalam kegiatan apapun, dia hanya berdiam diri di kelas. Hmm … sepertinya
ada yang aneh pada dirinya hari ini. Aku pun mencoba untuk menyapanya.
“
Hai Rian !”sapaku sambil tersenyum.
“
Hai juga Fi…” jawabnya lirih.
“Ada
apa denganmu hari ini? Kulihat kau hanya berdiam diri terus, mana kekonyolanmu
dan kejailanmu itu? Apa kau sedang sakit yan?” ledekku kepada Rian sambil
tertawa kecil.
“
Hmm.. bukan begitu Fi. Aku sedang tidak enak badan saja. Maka dari itu aku
tidak ikut bermain dengan yang lain apalagi menjailimu, maaf saja sudah
membuatmu khawatir.” jawabnya sambil menunduk dan lesu.
Aku
terkejut dengan jawaban Rian tadi. Namun bagaimana lagi mungkin memang dia
sedang sakit dan tidak boleh terlalu capek.
“
Baiklah kalau begitu, tapi kau harus tetap semangat ya!” ujarku sambil menepuk
punggungnya.
“
Terima kasih ,Fi. Maaf kalo selama ini aku menjailimu mungkin sudah saatnya aku
berhenti. Ternyata kau peduli padaku.” jawabnya sambil tersenyum padaku.
“
Ah.. biasa saja. Besok kau harus sembuh ya! Agar bisa bermain bersama lagi
dengan yang lainnya.” mukaku pun mulai memerah karena dipujinya.
“
Iya pasti ! jawabnya sambil tersenyum dan memegang tanganku erat-erat, lalu iya
pergi dan melepaskan pegangannya dan bermain dengan teman-teman yang lain.
Aku
tidak tahu mengapa. Jika aku melihatnya sedih seperti ada yang kurang dari
diriku. Aku merasa nyaman sekali walau dia selalu menjailiku. Andai ia tahu aku
sangat peduli dengan apa yang ia lakukan.
Ku
dengar teriakan dari sudut sana. Tak ku kira dia sudah memulai kekonyolannya
kembali. Aku hanya memandanginya di jendela tak sadar dia berkedip kepadaku,
sambil berkata terima kasih dengan lirihnya.
Tak
terasa bel sudah berbunyi kembali, ternyata aku terlalu lama melamun. Aku
terkejut sekali karena Rian mengagetanku.
“
Hai Silfi..! Hayo ngelamun aja sih? Memang gak ada kerjaan lain apa?” sapanya
sambil memukul lirih punggungku,kemudian ia memegang tanganku.
“
Duh ! kamu ni yan.. Bikin kaget saja si. Hehe aku tak sadar tadi hanya
mengkhayal sedikit.” jawabku sambil membalasnya tersenyum kecut karena dia
mengagetkanku.
“
Hehe.. maaf fi. Udah bel lo.. cepetan persiapin untuk pelajaran lagi. Yuk! “
ajaknya dengan merangkulku, kemudian berjalan menuju tempat duduk.
Kini
apa lagi yang terjadi padanya? Tapi tak apa, aku senang dengan dia yang
sekarang. Berarti aku berhasil membujuknya untuk bermain kembali.
Terdengar
bisikan yang membuat telingaku geli.
“
Terima kasih fi …! Ternyata kau tulus menolongku.” bisiknya sambil terus berjalan
ke tempat duduknya yang berada di belakang bersama dengan Sam.
Pipiku
tiba-tiba memerah. Lagi –lagi aku seperti ini. Tak sadar aku senyum-senyum
sendiri. Hingga teman-teman meledeku bahwa aku ada hubungan spesial dengan
Rian. Spontan aku langsung membantahnya. Kemudian teman-teman di kelasku
langsung duduk dengan tenang karena Pak Kus datang.
Jam
menunjukkan pukul 12.30. Sebentar lagi bel akan segera berbunyi. Ku lihat Rian
telah bersiap-siap untuk pulang. Ia merapikan buku-buku dan memasukannya ke
dalam tas. Pak Kus menyuruh kami untuk berkemas-kemas.
Bel
pulang sekolah menyambut kegembiraan semua siswa untuk pulang sekolah dan
kembali bertemu keluarganya. Setelah selesai berdoa bersama aku dan teman-teman
sekelasku pulang. Ku tengok ke kanan dan ke kiri untuk mencari Ayahku. Senyum
pun terlukis dalam bibirku. Melihat Rian menghampiriku serta menggandeng ku
menuju ke ruang tunggu dimana Ayahku berada. Ternyata Ayah Rian juga sudah siap
menjamputnya. Semakin dekat dengan Ayah aku melepaskan peganganku ini, kemudian
berlari ke arah Ayah. Aku mendekat ke motor Ayah. Namun Ayah sedang asik
mengobrol dengan Ayah Rian. Aku mendengar sedikit kata “periksakan saja ke
dokter mungkin ini penyakit serius.” Aku bertanya-tanya. Sebenarnya ingin ku
dengarkan obrolan Ayahku dengan Ayah Rian dengan seksama, tetapi tiba-tiba Rian
buru-buru untuk mengajak Ayahnya pulang. Mau bagaimana lagi, aku juga ikut
pulang. Tunggu saja perkembangan Rian besok.
Lelah
menyelimutiku, setibanya di rumah langsung kusandarkan tubuhku ini ke sofa di ruang
tamu rumahku. Ku rebahkan rambutku. Hembusan nafasku terasa panas. Ku tarik
nafas dalam-dalam untuk melepas lelahku sejenak. Ibu menyambut kedatanganku
dengan raut wajah yang gembira. Perlahan Ibu menghampiriku di ruang tamu lalu membantu
membawakan tasku yang berat ini. Ia juga mengelus rambutku. Ibu pun langsung
menawarkan masakan istimewanya untuk makan siangku.
“
Kau pasti lelah ya nak. Cepatlah makan Ibu sudah membuat makanan kesukaanmu.
Lihat saja! Setelah kau memakanya pasti kau akan semngat kembali.” sapanya
dengan lembut.
“
Iya Bu.., aku ganti baju dulu ya.” jawabku lemas sambil menuju ke kamar.
Aku
bergegas untuk ganti baju karena aku sudah sangat lapar, apalagi ditambah makanan
kesukaan ku yang baru dimasak oleh Ibu yaitu belut goreng dengan sambel pecak
yang sungguh sedap tak tertandingi. Krek.. terdengar suara pintu kamarku yang
terbuka setiap ada orang yang membukanya. Ternyata itu Ibu yang sedang
menggendong kucing kesayangannya ke kamar. Ibu langsung meletakan kucingku itu
ke kasur agar kucing itu tidur.
“
Sudah selesai kan gantinya? Sekarang makan sana, mumpung masih hangat lho…” ujar
Ibu sambil terus mengawasi kucingku itu agar ia tertidur.
“
Iya ,Bu. Ibu aku boleh cerita tidak?” tanya ku dengan tersenyum lalu duduk di
atas kasur sambil membelai kucingku yang lucu.
“
Memang mau cerita apa ,Fi?” Ibu balik bertanya.
“
Hmm.. Rian tadi pagi keliatan murung sekali Bu sepertinya dia sakit, ternyata
setelah ku Tanya dia memang sedang tidak enak badan. Namun, aku mendengar
pembicaraan Ayah dengan Ayah Rian sepertinya penyakit itu tidak bisa
diremehkan. Penyakit apa ya Bu? Tolong tanyakan ke Ayah dong Bu..? bujukku
dengan ramah dan tersenyum.
“
Oh ya? Kalau kamu mau tau penyakitnya ya .. tanyakan sendiri aja to ,Fi. Kalau
Tanya baik-baik pasti boleh kok. Ok?” jawab Ibu sambil menggandeng tanganku ke
meja makan.
“
Ya sudah ,Bu. Sekarang aku mau makan dulu deh.” ujarku dengan penuh perasaan
lalu duduk.
Aroma
Belut goreng buatan Ibu memang sangat menggugah selera. Apalagi sambalnya yang
pedas tetapi membuat kangen penikmatnya. Jadi betah tinggal di rumah. Perlahan
ku santap hidangan sedap itu. Lambat laun makanan yang ku makan tersebut hilang
alias hilang ditelan aku sendiri. Maklum lah kalau sedang lapar sekali aku
sering tak lama-lama dalam memakan makanan buatan Ibu.
Terdengar
suara Ibu yang menyuruhku untuk cuci tangan. Aku berlalu meninggalkan meja
makan menuju ke kamar mandi untuk cuci tangan. Selesai dari mencuci tangan aku
langsung menuju tempat tidur untuk istirahat sejenak dan sorenya belajar
kembali. Tiba –tiba terbayang wajah Rian dibenakku, ada apa ini? Kenapa aku
kepikiran dia terus? Ku coba untuk menghapus bayangnya. Namun, tidak bisa. Dia
sedang apa ya sekarang? Apakah dia sudah sembuh? Apa benar penyakitnya itu
berbahaya? Atau hanya perasaanku saja? Dalam hatiku bertanya. Doa terucap terus
dari bibirku, doa sederhana yang ku ucapkan khusus untuknya,agar dia cepat
sembuh, dan dimudahkan dalam segala hal. Hatiku benar-benar bimbang siang itu.
Lamunan
itu membuatku tertidur hingga pukul 17.00. dengan buru-buru aku menuju ke kamar
mandi untuk mandi. Waktuku untuk belajar dimulai. Ngantuk pun melanda, karena
sudah larut malam, langkah kakiku bergerak menuju ke kamar mandi yang berada
dibelakang, malam itu suasananya begitu sunyi, usai dari kamar mandi langkah kaki
ini langsung menuju ke kamar tidur. Lelahnya hari ini,ku baringkan badan ini di
tempat tidurku yang nyaman. Lagi –lagi bayangnya terlihat dengan jelas. Ya
Ampun.. ada apa ya ini. Apa aku melamun lagi? Makin lama aku pun mengantuk dan
akhirnya tertidur.
Suara
adzan subuh terdengar di telingaku. Spontan aku terbangun,lalu bergegas
mengambil air wudhu. Shalat subuh telah ku laksanakan kini ku panjatkan doa-doaku.
Ku selipkan nama dirinya dalam doaku.
Jam
di rumahku menunjukkan pukul 05.45. Buru-buru aku langsung makan. Ibu yang
sedari tadi sudah bangun untuk menyiapkan sarapan pagi untukku kelihatan lemas
pagi ini. Namun, Ibu berusaha untuk tidak terlihat lelah ia tersenyum padaku
lalu menghampiriku di meja makan.
“
Silfi.. udah bangun ya, makan yang banyak ya biar nanti di sekolah kuat dan
bisa melaksanakan pelajaran dengan mudah ya!” sapa Ibu dengan penuh kasih sayang.
“
Iya,Bu pastinya, pagi ini aku benar-benar lapar.” jawabku sambil membalas
senyumannya.
Ibu
berlalu meninggalkanku untuk melanjutkan menyapu rumah. Ku santap hidangan
sarapan buatan Ibu dengan enaknya. Ayah bangun dari tidurnya, dengan mata
setengah tertutup.
“
Hei ,Fi. Sudah bangun ya? Wah Ayah kalah ni, ayo cepat, selesai makan mandi
ya!” sapa Ayah sambil mengusap-usap matanya agar terlihat tidak ngantuk.
“
Iya deh. Ayah juga, cepat cuci muka supaya mata Ayah tidak kelihatan ngantuk
sekali.” ledekku sambil mengambil air minum yang ada di pojok meja makan.
Semuanya
telah siap. Aku dan Ayah berangkat ke sekolah dengan menggunakan motor.
Sebelumnya aku cium tangan ibuku dan neneku. Motor ayah melaju dengan cepat
karena sudah mulai siang.
Setibanya
di sekolah langsung kutuju kelas kesayanganku yang keci, tetapi sangat penuh kenangan
di dalamnya. Sering terjadi kejadian aneh dan lucu. Itulah yang menyebabkanku
menyayangi kelas ini. Teman-teman perempuanku ternyata sedang mengobrol dengan
asiknya, aku pun mndekatinya hingga ku dengar mereka sedang membicarakan Rian.
Antusiaslah aku.
“
Hai! Sudah berangkat duluan ni,tumben,Sif?” senyum menghiasi sapaanku kepada
sifa
“
Hai,Fi. Iya aku sudah berangkat sejak tadi. Eh, kau kan orang yang dekat dengan
Rian ya? Fi, ternyata Rian hari ini tidak berangkat, aku tidak tahu karena
apa.” ujarnya sambil memandangku dengan penuh pertanyaan sambil terus mengobrol
dengan yang lain.
“
Hah? Ia tidak berangkat? Paling dia belum sembuh dari sakitnya. Tenang saja itu
sakit biasa kok, paling besok dia sudah berangkat dan ceria seperti biasanya.”
jawabku sambil menyembunyikan raut wajahku yang mulai cemas dengan keadaan
Rian.
Lama
–lama pembicaraan itu selalu menyudutkanku dengan Rian. Bukannya punya rencana
untuk menjenguknya malahan ngegosip jadinya. Ku langkahkan kaki menjauhi Sifa
dan temannya itu. Maklum mereka itu terkenal dengan gosipnya yang hot-hot.
Herannya banyak yang suka dengannya karena mungkin dia tinggi,dan cantik.
Langkah
kakiku terhenti di depan jendela itu. Jendela kelas yang lebar. Senangnya jika
sedang berada disitu. Angin yang sepoi-sepoi seperti menjadi AC alami bagiku.
Sayangnya hari ini Rian tidak berangkat, karena ini tempat favorit kami berdua
jika kepanasan di dalam kelas. Kami selalu bergurau di situ serta melamun
bersama. Tak ku sangka aku melamun lagi, teringat bayangnya kembali. Aku
bergumam, apa ini pertanda sakitnya tidak sembuh? Ku pukul-pukul jidatku. Tidak
jangan berprasangka seperti itu. Dia pasti akan sembuh. Tiba- tiba dari
belakang aku dikagetkan oleh Sifa.
“
Hei ! melamun saja kau. Dari kemarin aku lihat kau melamun terus ,Fi? Ada apa
Fi? Maaf soal yang tadi ya!” sapa Sifa dengan suara yang lirih dan merunduk.
“
Aduh! kau ini Sif, mengagetkanku saja! Kalo aku jantungan gimana? Yeah, maybe
there is a little problem. Maaf soal apa Sif?” jawabku dengan sedikit mempraktikan
kemampuan berbahasa inggrisku.
“
Soal perbincanganku tadi dengan teman-teman. Kamu pasti merasa disudutkan, kami
hanya berbicara soal Rian kok. Maaf saja tiba-tiba kita menggosip antara kamu
dengan Rian,habis kamu deket si sama
dia. Memang Rian kenapa Fi? Dari kemarin kamu menghiburnya melulu?” tanyanya
sambil membuka makanan ringan yang baru dibelinya.
“
Hehe, kepo banget si kamu Sif? Iya aku maafkan kok. Dia sedang sakit dari
kemarin. Namun, dia tidak mau menceritakan apa penyakitnya padaku, semoga saja
dia cepat sembuh.” ujarku sambil berdiri dan mengeluarkan tawaku yang khas.
“
Ok deh, ya semoga saja dia cepat sembuh ya!” sahutnya sambil berlalu
meninggalkanku.
Sehari
di sekolah tanpa Rian itu rasanya seperti ada yang kurang. Bel pulang sekolah
terasa sangat cepat. Lesu raut wajahku ini tak bisa ku sembunyikan lagi. Hari
ini lelah begitu terasa. Andai hari ini ada dia mungkin aku tidak akan selelah
ini.
Setibanya
di rumah sudah kulihat sesosok orang yang sangat menyayangiku di depan pintu rumah.
Ku langkahkan satu demi satu kaki ini. Senyum selalu terpasang di raut wajahnya
yang membuatku tiba-tiba semangat kembali tapi kali ini tidak. Perlahan Ibu
menggandengku dan membantu untuk membawakan tas sekolah ku yang berat ini. Ia
seperti kasihan denganku. Tak lupa ku ucapkan terimakasih. Seperti biasanya aku
terkapar di tempat tidurku yang super empuk bagiku, sambil memandang
langit-langit kamar aku membayangkan Rian kembali, bayanganku yang tidak-tidak
tentang keadaan Rian kembali muncul. Ibu masuk ke dalam kamarku, seperti yang
sudah- sudah Ibu menawarkan makanan untuk makan siangku. Aku bergegas bangun
dari tempat tidur itu walau rasanya penat masih menyelimutiku. Makan siang kali
ini aku benar-benar lesu tidak seperti biasanya aku selalu makan siang dengan
semangat, biasanya aku juga mengobrol tentang pengalaman di sekolah tadi pada
Ayah dan Ibu. Melihat keadaanku yang tidak biasa Ibu mengelus kepalaku dan
bertanya.
“
Silfi, kau ini kenapa? Dari tadi Ibu lihat-lihat kok cemberut terus? Lesu
sekali siang ini. Ada apa yang terjadi denganmu hari ini? Apa ada masalah di
sekolah?” tanya Ibu sambil terus mengelus kepalaku.
“
Hm, maaf Bu, sudah membuat Ibu menjadi khawatir. Ya, hari ini aku memang
sedikit lelah, tapi bukan berarti aku sakit. Masalahnya orang yang selalu menghiburku
tidak berangkat, Bu.” jawabku dengan suara yang bergetar.
“
Oh, tapi kalau kamu benar-benar lelah habis makan langsung tidur saja. Siapa
dia Fi?” tanya Ibu sambil mengambilkan minum dari dispenser.
“
Rian,Bu. Aku khawatir dia mengidap penyakit yang berbahaya. Apa mungkin hanya
perasaanku saja. Karena kemarin aku belum sempat tanya ke Ayah apa penyakit
Rian.” terangku dengan pelan.
“
Tanya saja pada Ayah. Mungkin Ayah tau.” jelas Ibu yang kemudian berlalu meninggalkan
aku dan menuju ke dapur untuk memasak kembali.
Mendengar
perbincangan aku dengan Ibu. Ayah datang dan duduk di kursi meja makan tepatnya
di sebelahku. Ayah menceritakan semua tentang perbincangan Ayah kemarin dengan
Ayahnya Rian.
“
Kata Ayah Rian kemarin, dia hanya sakit “udun” disekitar punggungnya.” jelas
Ayah padaku dengan suara yang khas.
Udun
adalah benjolan yang timbul karena mungkin keringat yang berlebihan yang
mengandung bakteri lalu menjadi benjolan yang sakit, tetapi tidak gatal. Hampir
seperti jerawat.
“
Terus kemarin Ayah bilang kalau sebaiknya di periksakan ke dokter saja? Iya
kan?” tanyaku sambil memasang raut wajah yang penuh pertanyaan.
“
Ya, setelah dilihat- lihat, makin lama benjolan yang ada di tubuh Rian tumbuh
membesar. Bisa saja itu kanker. Atau apa lah, lantas benjolan itu menyebar
kemana-mana.” terang Ayah penuh bersahaja.
Mendengar
hal itu aku terhenyak. Bibirku spontan tidak ingin bertanya apa-apa lagi
tentangnya. Karena semakin aku bertanya semakin aku khawatir dengan keadaanya.
Lebih baik memang tidak mengetahuinya.
Ting..Tung..Nada
dering SMS dari telepon genggamku berbunyi. Bergegas aku mengambil telepon
genggamku itu. Langsung ku buka kotak masuknya. Di situ tertera SMS dari Sifa
yang mengabarkan berita yang tidak mengenakan hatiku.
From
: Sifa f.
Teman–teman
, ada sedikit berita yang mencengangkan. Maaf sebelumnya ya! Aku baru
mendengarnya dari Dedi. Kata Dedi, Rian sakit parah lalu ia langsung dilarikan
ke rumah sakit umum daerah di kota ini. Namun, Dedi melihatnya dalam keadaan
tak sadarkan diri saat dia di bawa ke dalam mobilnya. Semoga berita ini
bermanfaat bagi kalian. Bagi yang mau menjenguknya besok harap membawa uang Rp
10.000,00 untuk iuran sekedar membeli buah atau apa saja untuk Rian. Thanks .
Telepon
genggamku tiba-tiba terjatuh dari genggaman tanganku. Aku yang tadinya berdiri
tiba-tiba ikut jatuh dan meneteskan air mata. Air mata mengalir deras di
pipiku. Namun, aku harus kuat dalam menghadapi ini. Cepat – cepat aku menhapus
air mataku. Aku harus semangat agar Rian bisa semangat untuk kembali sehat.
Baiklah sudah kuputuskan aku akan ikut menjenguknya ke rumah sakit besok.
Pastinya Rian sudah sadar dan kembali ceria karena dihiburku. Mungkin dia
dilarikan ke rumah sakit gara – gara lemas tidak mau makan. Maklum orang yang
sedang sakit pasti makanya selalu tidak enak.
Seusai
makan siang langsung ku baringkan badan ini ke tempat tidur lagi. Rasanya
kenyang sekali hari ini baru satu piring aku memakan makanan kesukaanku
biasanya kalau ada makanan kesukaanku aku nambah terus. Mungkin karena
mengetahui Rian dalam keadaan yang tak baik nafsu makanku berkurang. Ku pandang
langit-langit kamar tidurku. Sejuknya angin yang berhembus dari jendela
membuatku cepat mengantuk. Hawa dingin lama – kelamaan menusuk tubuhku. Ku
tengok jendela kamar,terlihat awan putih yang tadi berseri padaku berubah
menjadi awan hitam pekat. Ternyata sore ini akan turun hujan. Jendela kamar
yang terbuka, segera ku tutup rapat-rapat, kemudian aku berbaring kembali ke
tempat tidur hingga akhirnya aku tidur dengan lelapnya.
Malam
pun datang. Suara burung hantu bersaut-sautan. Menyambut malam yang penuh
dengan misteri. Memang benar aku merasa malam ini adalah malam yang penuh
misteri dari pada malam sebelumnya. Namun, aku tidak ingin lama-lama merasakan
hawa yang tidak enak, ku palingkan kepala ini kea rah meja belajar. Setumpuk
buku telah menantiku di sana. Tersadar aku langsung belajar di tempat itu.
Malam
semakin larut aku mulai mengantuk. Buku yang telah ku pelajari lalu ku taruh di
tasku yang besar ini. Buku untuk besok sepertinya sangat berat daripada
sebelumnya. Mulai lagi perasaan yang tak enak. Apa sebenarnya yang terjadi
besok? Semoga tidak ada apa-apa.
Dug..dug..dug..
terdengar suara kakiku yang berlari dari tempat tidur. Hari ini aku benar
tergesa-gesa. Ibu sudah menaruh sejumlah uang di dompetku untuk iuran hari ini.
Seusai mandi aku sarapan bersama Ayah. Sebelum berangkat aku berdoa semoga hari
ini Rian sudah sembuh dan bisa di jenguk serta ia tidak harus menanggung
penyakit yang berat.
Setibanya
di sekolah teman-teman sedang bersiap-siap menyiapkan uang iuran yang digunakan
untuk membeli parsel buah untuk Rian. Ku serahkan uang ini kepada ketua kelas
yaitu Dedi, setelah semua uang terkumpul ia serahkan uang itu ke Wali kelas
kami. Kami meminta saran sebaiknya untuk membeli apa uang ini digunakan. Semua
setuju agar uang tersebut dibelikan parsel buah. Aku terlihat paling antusias
pada kegiatan kali ini. Ya, memang karena hari ini aku akan menjenguknya,
mungkin aku bisa menghiburnya dengan lelucon yang baru ku dapat dari Ayah. Tak
lama kemudian kami pergi ke rumah sakit tempat ia dirawat. Kami semua masuk
dengan wajah yang ramah. Apalagi aku sudah sangat kengen dengan temanku yang
satu ini. Bagaimana tidak dia selalu bermain denganku hingga aku digosipkan
mempunyai hubungan special dengannya.
Kami
sedikit kesulitan mencari-cari ruangan dimana Rian dirawat. Namun, setelah kami
bertanya-tanya kepada petugas rumah sakit, setelah mengetahui ruangan dimana
Rian dirawat kami langsung menuju kamar garuda nomor 5. Semakin dekat dengan
ruangan Rian, jantungku berdetak semakin tak menentu, perasaan tidak enak
menyelimutiku. Aku menggeleng-gelengkan kepala agar perasaan ini hilang. Di
depan kamar garuda nomor 5 terlihat sesosok perempuan berbadan tinggi, putih,
dan cantik. Matanya terlihat sembab seperti habis menangis. Wali kelasku yaitu
Pak Kus langsung bertanya kepada sesosok perempuan tadi yang ternyata adalah
ibu dari Rian. Ibu Rian menceritakan semuanya pada Pak Kus. Namun, kita belum
mengetahui apa yang dibicarakan mereka. Selesai bertanya Pak Kus mulai
menunjukkan raut wajah yang sedih. Apakah perasaanku ini benar? Pak Kus
menceritakan semua kejadiannya kepada kami. Bruk ! mendengar cerita Pak Kus aku
terjatuh dengan keadaan tak sadar Bruk ! mendengar cerita Pak Kus aku terjatuh
dengan keadaan tak sadar. Ku coba membuka mata ini. Terlihat sesosok perempuan
yang tadi berdiri di depan kamar dimana Rian dirawat. Ia menyodorkan sebuah
amplop yang berisi surat.
“
Syukurlah kau sudah sadar. Apakah kau teman Rian yang bernama Silfi?
Alhamdulillah ketemu juga. Ini ada sepucuk surat darinya untukmu sebelum Rian
meninggalkan dunia ini untuk selama-lamnya.” ujarnya dengan suara serak seperti
habis menangis sambil menyodorkan sepucuk surat dari Ibu Rian.
“
Terima kasih, saya turut berduka cita Tante.” jawabku dengan lirih sambil terus
memandangi surat itu.
Aku
tak ingin berbicara panjang lebar dengan Ibu Rian karena itu akan menyebabkan
kesedihannya berlarut. Semua temanku menangis. Ada pula yang menjerit. Aku
berusaha untuk tegar dalam menerima keadaan ini. Kenyataannya aku tak bisa
membendung air mata ini lagi.
Sambil
terus menangis ku sobek amplop yang di dalamnya berisi sebuah surat dari Rian
untukku. Amplop itu berwarna biru laut yang menyejukkan hati. Semakin ku buka
surat dari amplop itu kesedihanku berlarut-larut. Terbukalah surat itu. Ku baca
surat dari Rian dengan cermat.
To: Silfi
Sudah lama aku menulis surat ini
untukmu. Hanya berjaga-jaga, karena aku sudah tau penyakit ini daripada orang tuaku,
aku sudah tahu sebelum aku diperiksa ke dokter. Jika aku sudah tidak bisa
bermain denganmu untuk selama-lamanya aku harap kau mau membaca suratku ini.
Sepucuk surat sederhana untukmu, dikatakan sederhana karena hanya berisikan
permintaan maafku untukmu yang selama ini aku sering membuatmu marah karena aku
jail. Aku paham betul perasaanmu saat ini, aku memang sudah tidak ada di dunia
ini lagi ,Fi. Namun kamu jangan pernah bilang aku tidak ada, aku sebenarnya
akan selalu di dekatmu walau itu mustahil. Tahukah kamu ,Fi, kau seseorang yang
menyadarkanku betapa pentingnya seorang sahabat dan teman. Ternyata walau kau
sering aku jaili, kaulah sosok orang yang paling perhatian tentang keadaanku
selama ini. Maaf selama ini telah membuatmu khawatir dengan menyembunyikan
penyakitku. Kau boleh saja marah denganku ,Fi. Andai saja kau tahu setelah
kejadian kau menghiburku hari itu hatiku benar-benar tersentuh tentang apa yang
kau katakan. Aku merasa telah menemukan orang yang benar-benar tulus berteman
denganku,dan aku telah menjadikanmu sahabat seutuhnya. Sebenarnya ingin ku
katakan hal ini setelah hari itu kau menghiburku. Namun naas penyakitku telah
menggerogoti tubuhku yang lemah ini. Saat kau membaca surat ini kau pasti
menangis. Tolong, Fi, jangan menangis, jangan keluarkan air mata itu hanya demi
aku. Ingat aku janji akan selalu di dekatmu! Doakan aku masuk surga ya, semoga
di akhirat nanti kamu bisa bertemu aku. Salam hangat.
Your
friendship
Rian
SP
Melihat
semua isi surat darinya hatiku seolah diberi sekumpulan es batu. Benar-benar
maknyesssss. Seketika air mata jatuh membasahi pipi serta baju ku ini. Posisiku
yang semula duduk di ruang tunggu menjadi terjatuh. Aku menjerit dengan
sekeras-kerasnya. Tiba- tiba aku ingat pesan Rian untuk tidak menangisinya karena
Dia selalu ada di dekatku. Sontak aku berhenti menangis. Terlihat langkah kaki
semakin mendekat padaku. Sosok laki-laki yang berbadan tinggi. Ternyata dia
Rendra. Ia mengulurkan tangannya untuk membantuku bangun serta mengajaku untuk
pergi agar tidak terlarut dalam kesedihan ini.
Sambil
melangkah keluar aku mengobrol dengan Rendra. Ia sangat mengerti perasaanku.
Dia menyuruhku untuk menuruti kata-kata Rian dalam surat itu. Ya! Aku harus
tegar. Semuanya pasti tak ada yang abadi dalam dunia ini. Semuanya pasti akan
kembali kepada Sang Pencipta. Kini aku benar-benar yakin. Jika tiba saatnya
nanti, ragaku ini telah lemah, aku berdoa semoga di akhirat nanti aku bisa
bertemu denganmu. Dalam hatiku berkata “tunggu aku di surga nanti,Rian.” Senyum
manis pada bibirku mengiringiku berjalan keluar dari rumah sakit bersama
Rendra.